بِذِى اْلقُرْبَى وَ
اْليَتَامَى وَ اْلمـَسَاكِينِ وَ اْلجَارِ ذِى اْلقُرْبَى وَ اْلجَارِ اْلجُنُبِ
وَ الصَّاحِبِ بِاْلجَنْبِ وَ ابْنِ السَّبِيلِ وَ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
Dan beribadahlah kamu
kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Berbuat
baiklah kepada dua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu
sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan suka membangga-banggakan diri. [QS an-Nisa’/ 4: 36].
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang
ayat ini, “Kemudian (setelah menyuruh bertauhid), Allah Subhanahu wa ta’ala
memberi wasiat untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Karena Allah telah
menjadikan mereka berdua sebagai sebab keluarnya engkau dari ‘tidak ada’
menjadi ‘ada’. Dan banyak sekali Allah menggandengkan perintah beribadah
kepada-Nya dengan berbuat baik kepada kedua orang tua”. [Tafsir alqur’an
al-Azhim: I/ 611].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Di dalam ayat
ini Allah ta’ala telah memerintahkan kaum mukminin untuk beribadah kepada-Nya
dan mentauhidkan-Nya. Di dalamnya juga terdapat perintah untuk berbuat baik
kepada kedua orang tua, dengan cara mematuhi mereka dalam perbuatan ma’ruf,
berbuat baik kepada mereka dan mencegah berbagai bahaya dari mereka”. [1]
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Ayat ini menjadi dalil dengan
menyebutkan berbuat baik kepada kedua orang tua setelah perintah beribadah
kepada Allah dan larangan dari berbuat syirik kepada-Nya lantaran kebesaran hak
keduanya”. [2]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah Tabaroka wa
ta’ala telah memerintahkan untuk mengibadahi-Nya saja tiada sekutu bagi-Nya.
Karena Dia-lah Pencipta, Pemberi rizki, Pemberi kenikmatan lagi Pemberi karunia
kepada makhluk-Nya pada seluruh keadaan. Maka Dia-lah yang berhak untuk
ditauhidkan/ diesakan oleh mereka dan tidak mempersekutukan sesuatupun dari
makhluk-Nya dengan-Nya.
Lalu Allah ta’ala
telah mewasiatkan agar berbuat baik kepada kedua orangtua. Karena Allah telah
menjadikan mereka berdua sebagai sebab keluarnya engkau dari ‘tidak ada’
menjadi ‘ada’. Dan banyak sekali Allah Subhanahu menggandengkan perintah
beribadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Kemudian Allah
Menggandeng perbuatan baik kepada keduanya itu dengan perbuatan baik kepada
para kerabat dari laki-laki dan perempuan”. [3]
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ
عَلَيْكُمْ أَ لَّا تُشْرَكُوا بِهِ شَيْئًا وَ بِاْلوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَ
لَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُم مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَ إِيَّاهُمْ وَ
لَا تَقْرَبُوا اْلفَوَاحِشَ مَا ظَهِرَ مِنْهَا وَ مَا بَطَنَ وَ لَا تَقْتُلُوا
النَّفْسَ الَّتِى حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكَمْ وَصَّاكَمْ بِهِ
لَعَلَّكُمْ تَعْقِلَونَ
Katakanlah, “Marilah
kubacakan apa yang diharamkan atasmu oleh Rabb mu yaitu, janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan-Nya, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua,
dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami akan
memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang
diperintahkan kepada kamu supaya kalian memahami(nya).[QS al-An’am/6: 151].
Berkata asy-Syaikh
Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Di dalam ayat pertama ini telah
datang pengharaman akan 5 perkara yaitu, perbuatan syirik, mendurhakai kedua
orang tua, membunuh anak-anak, melakukan perbuatan keji dan membunuh
jiwa”. [4]
Katanya lagi,
“((Berbuat baiklah terhadap kedua orang tua)) maka ini adalah merupakan
perintah karena takdir (kalimat)nya adalah berbuat baiklah kalian kepada kedua
orang tua. Perintah untuk melakukan sesuatu itu merupakan larangan dari
kebalikannya. Maka perintah berbuat baik (kepada kedua orang tua) itu
menetapkan pengharaman berbuat buruk dan berbuat buruk kepada kedua orang itu
merupakan perbuatan durhaka kepada keduanya. Sedangkan durhaka kepada kedua orang
tua itu diharamkan dan masuk dalam kandungan pengharaman yang telah disebutkan
di dalam 3 ayat ini”. [5]
وَ قَضَى رَبُّكَ
أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ اْلكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا
أُفٍّ وَ لاَ تَنْهَرْهُمَا وَ قُل لَّهُمَا قَوْلًا كَـرِيمًا وَ اخْفِضْ لَهُمَا
جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَ قُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَـمَا رَبَّيَانِى
صَغِيرًا
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang
tuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ahh” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuhrasa sayang dan
ucapkanlah, “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
telah mendidikku di waktu aku masih kecil”. [QS. Al-Isra’/ 17: 23-24].
Berkata asy-Syaikh
Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat kewajiban beribadah
kepada Allah ta’ala saja dan kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua
yaitu bersikap baik kepada keduanya, mencegah bahaya dari keduanya dan mentaati
keduanya dalam perbuatan ma’ruf. Terdapat kewajiban untuk mendoakan kebaikan
untuk kedua orang tua dengan ampunan dan rahmat”. [6]
Berkata asy-Syaikh
Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah ta’ala berfirman dalam keadaan
menyuruh (manusia) agar beribadah kepada-Nya saja tiada sekutu bagi-Nya. Lalu
Allah ta’ala juga menyuruh agar berbuat baik kepada kedua orang tua dengan ucapan
dan perbuatan. Maka tidak boleh engkau memperdengarkan kepada keduanya dengan
tingkatan ucapan buruk yang paling hina yaitu ucapah ‘ahh’. Tidak boleh pula
engkau mengibaskan tanganmu kepada keduanya karena itu adalah tingkatan
perbuatan jelek yang paling rendah. Sebagaimana Allah ta’ala telah melarang
dari perkataan yang buruk dan perbuatan yang jelek maka Allah ta’ala juga telah
menyuruh kepada perkataan yang elok dan perbuatan yang baik. Yaitu ucapan
santun, lemah lembut lagi penuh persahabatan dengan penuh sopan, penghormatan,
pemuliaan dan rendah hati. Dan ingatlah, engkau berbuat seperti itu sedangkan
keduanya telah mendahuluimu dalam perbuatan tersebut. Keduanya bersikap lemah
lembut kepadamu ketika engkau masih kecil, keduanya begadang di waktu malam
karenamu, keduanya menahan rasa lapar hingga engkau merasa kenyang dan
keduanya-pun menahan dahaga sehingga engkau telah hilang rasa haus”. [7]
Berkata asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Semua ayat-ayat ini dan
selainnya menunjukkan akan besarnya hak kedua orang tua. Allah Subhanahu wa
ta’ala telah menjelaskan tentang keadaan ibu. Bahwasanya ia telah mengandung
anaknya dalam keadaan lemah lagi bertambah lemah. Yaitu dari sejak
mengandungnya sampai ia melahirkannya sedangkan ia dalam keadaan lemah, sulit
dan payah. Demikian pula ketika melahirkan, sebagaimana Allah ta’ala telah
berfirman ((Ibunya telah mengandungnya dengan susah
payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). QS al-Ahqaf/ 46: 15)).
Semua penjelasan ini merupakan sebab akan hak ibu yang sangat besar.
Kemudian Allah ta’ala telah menyebutkan
keadaan yang paling berat bagi kedua orang tua. Allah ta’ala berfirman ((Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ahh”. QS Luqman/ 31: 23)) karena kedua orang tua apabila telah
mencapai usia lanjut maka jiwanyapun akan merasa lemah. Sehingga kedua-duanya
akan menjadi beban bagi anaknya. Namun disamping itu Allah telah berfirman
‘janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ahh” yaitu janganlah kamu
mengatakan ‘Sesungguhnya aku bosan kepada kalian berdua’. Tetapi pergaulilah
keduanya dengan lemah lembut, perbuatan baik dan santun. Jangan membentak
keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya ucapan yang mulia. Yaitu sambutlah
(ucapan) keduanya dengan sambutan yang baik lantaran kebesaran hak mereka
berdua”. [8]
Berkata Nizham Sakkajaha, “Dari ayat ini
dapat dipahami bahwa Islam itu telah menjadikan untuk kedua orang tua, yaitu
hak (dari anak-anak keduanya) untuk berbuat baik, bersikap lemah lembut,
memperhatikan dan menyayangi keduanya. Dan menguatkan hak ini dengan
menggandengnya dengan hak Allah (dari para hamba-Nya) untuk memuliakan-Nya dan
menyempurnakan hak-Nya”. [9]
وَ وَصَّيْنَا
اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَ إِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِهِ مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا
كُـنتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat)
kebaikan kepada dua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah engkau mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu
Aku akan kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [QS. Al-Ankabut/ 29:
8].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala berfirman dalam
rangka memerintahkan para hamba-Nya agar berbuat baik kepada kedua orang tua
setelah memotivasi mereka untuk berpegang teguh dengan mentauhidkan-Nya. Karena
kedua orang tua itu adalah penyebab keberadaan manusia dan kepada keduanyalah
ada tujuan berbuat baik. Maka ayahnya yang memberi nafkah sedangkan ibunya yang
menuangkan rasa kasih sayang”. [10]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat
kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua dalam perbuatan ma’ruf dan tidak
boleh mentaati keduanya dalam perbuatan munkar semisal perbuatan syirik dan
berbagai kemaksiatan. Terdapat kabar gembira bagi orang-orang mukmin yang
mengerjakan amal-amal shalih dengan dimasukkannya mereka ke dalam surga beserta
para nabi dan golongan siddiqin”. [11]
وَ وَصَّيْنَا
اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَ وَضَعَتْهُ
كُرْهًا وَ حَمْلُهُ وَ فِصَالُهُ ثَلَاتُوْنَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ
أَشُدَّهُ وَ بَلَغَ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً قَالَ رِبِّ أَوْزِعْنِى أَنْ أَشْكُرَ
نِعْمَتَكَ الَّتِى أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَ عَلَى وَالِدَيَّ وَ أَنْ أَعْمَلَ
صَالِحًا تَرْضَاهُ وَ أَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِى إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَ
إِنِّى مِنَ اْلمـُسْلِمِينَ أُولَئِكَ الَّذِينَ نَتَقَّبَلَ عَنْهُمْ أَحْسَنَ
مَا عَمِلُوا وَ نَتَجَاوَزُ عَن سَيِّئَاتِهِمْ فِى أَصْحَابِ اْلجَنَّةِ وَعْدَ
الصِّدْقِ الَّذِى كَانُوا يُوْعَدُونَ
Kami perintahkan kepada manusia supaya
berbuat baik kepada dua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah,
dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya
selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai
empat puluh tahun ia berdoa, “Wahai Rabbku, tunjukkilah aku untuk mensyukuri
nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan
supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridloi. Berilah kebaikan
kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat
kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.
Mereka Itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang
telah mereka kerjakan dan Kami akan ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama
penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada
mereka. [QS. Al-Ahqof/ 46: 15-16].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir
rahimahullah, “Yaitu Kami telah memerintahkan manusia untuk berbuat baik kepada
keduanya dan menaruh rasa kasih sayang kepada keduanya”. [12]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir
al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Yaitu Kami perintahkan dengan perintah yang lebih
tegas yakni wasiat untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya yaitu ibu dan
ayahnya. Hal itu dengan cara mencegah bahaya dari keduanya, memberikan kebaikan
untuk keduanya, mentaati keduanya dalam perkara ma’ruf dan juga berbuat baik
kepada keduanya setelah keduanya wafat”. [13]
وَ إِذْ قَالَ
لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَ هُوَ يَغِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ وَ وَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ
أَمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَ فِصَالُهُ فِى عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْلِى وَ
لِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ اْلمـَصِيْرُ وَ إِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِى
مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَ صَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا
مَعْرُوفًا وَ اتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ
فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُـنتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata
kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezhaliman yang besar”. Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu, hanya kepada-Kulah
kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan sesuatu dengan-Ku
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu. Maka janganlah kamu mematuhi
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan
orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka akan
Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [QS. Luqman/ 31: 13-15].
Berkata asy-Syaikh
Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Yaitu Kami telah memerintahkan
kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya yaitu ibu dan
ayahnya. Berbuat baik kepada keduanya itu dalam bentuk mendermakan perbuatan
ma’ruf untuk keduanya, mencegah bahaya dari keduanya dan mentaati keduanya
dalam perbuatan ma’ruf”. [14]
Berkata asy-Syaikh
Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah Subhanahu mengkhabarkan
bahwasanya Ia telah mewasiatkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua
orangtuanya. Karena ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah tatkala
melahirkan den lemah ketika mendidik dan menyusui setelah dua tahun
melahirkannya. Tujuan Allah Azza wa Jalla mengingatkan akan pengajaran sang
ibu, keletihan dan kesulitannya lantaran begadang di waktu malam dan siang hari
hanyalah agar sang anak menjadi ingat untuk berbuat baik kepada keduanya. Maka
balasan untuk kedua orang tua adalah berbuat baik (kepada keduanya) karena
balasan berbuat baik itu adalah kebaikan pula (yakni surga)”. [15]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin rahimahullah, “Maka ibu merasa letih pada saat mengandung,
melahirkan, setelah melahirkan dan menyayangi anaknya melebihi rasa sayang
ayahnya kepadanya. Oleh karena itu, ibu adalah orang yang paling berhak untuk
dipersahabati dan diperlakukan dengan baik, sehingga lebih dari pada sang ayah.
Sebagaimana di dalam sebuah hadits, dari Abu Hurairah radliyallahu anhu
berkata, ‘Seseorang pernah datang menemui Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam dan bertanya, “Wahai Rosulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk
dipersahabati/ dipergauli dengan baik?”. Beliau menjawab, “Ibumu”. Ia bertanya
lagi, “Lalu siapa lagi?”. Beliau menjawab, “Ibumu”. Lalu ia bertanya kembali,
“Kemudian siapa lagi?”. Beliau menjawab, “Ibumu”. Orang itu bertanya lagi,
“Lalu siapa lagi?”. Beliau menjawab, “Ayahmu”. [HR al-Bukhoriy: 5971 dan
Muslim: 2548]. [16]
Ayah juga merasakan keletihan dalam (merawat) anak-anaknya, merasakan kecemasan
seperti kecemasan mereka, berbahagia sebagaimana kebahagiaan mereka dan
berusaha dengan berbagai sebab yang dapat membuat kelapangan, ketentraman dan
kebaikan hidup mereka. Ia melintasi padang pasir dan tanah tandus dalam rangka
memperoleh penghidupan untuknya dan anak-anaknya”. [17]
0 komentar:
Posting Komentar