This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 11 November 2016

Dalil Naqli berbakti kepada kedua orang tua dikala hidup dan ati

بِذِى اْلقُرْبَى وَ اْليَتَامَى وَ اْلمـَسَاكِينِ وَ اْلجَارِ ذِى اْلقُرْبَى وَ اْلجَارِ اْلجُنُبِ وَ الصَّاحِبِ بِاْلجَنْبِ وَ ابْنِ السَّبِيلِ وَ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
Dan beribadahlah kamu kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Berbuat baiklah kepada dua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan suka membangga-banggakan diri. [QS an-Nisa’/ 4: 36].
      Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Kemudian (setelah menyuruh bertauhid), Allah Subhanahu wa ta’ala memberi wasiat untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Karena Allah telah menjadikan mereka berdua sebagai sebab keluarnya engkau dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Dan banyak sekali Allah menggandengkan perintah beribadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada kedua orang tua”. [Tafsir alqur’an al-Azhim: I/ 611].
          Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Di dalam ayat ini Allah ta’ala telah memerintahkan kaum mukminin untuk beribadah kepada-Nya dan mentauhidkan-Nya. Di dalamnya juga terdapat perintah untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, dengan cara mematuhi mereka dalam perbuatan ma’ruf, berbuat baik kepada mereka dan mencegah berbagai bahaya dari mereka”. [1]
          Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, “Ayat ini menjadi dalil dengan menyebutkan berbuat baik kepada kedua orang tua setelah perintah beribadah kepada Allah dan larangan dari berbuat syirik kepada-Nya lantaran kebesaran hak keduanya”. [2]
          Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah Tabaroka wa ta’ala telah memerintahkan untuk mengibadahi-Nya saja tiada sekutu bagi-Nya. Karena Dia-lah Pencipta, Pemberi rizki, Pemberi kenikmatan lagi Pemberi karunia kepada makhluk-Nya pada seluruh keadaan. Maka Dia-lah yang berhak untuk ditauhidkan/ diesakan oleh mereka dan tidak mempersekutukan sesuatupun dari makhluk-Nya dengan-Nya.
Lalu Allah ta’ala telah mewasiatkan agar berbuat baik kepada kedua orangtua. Karena Allah telah menjadikan mereka berdua sebagai sebab keluarnya engkau dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Dan banyak sekali Allah Subhanahu menggandengkan perintah beribadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Kemudian Allah Menggandeng perbuatan baik kepada keduanya itu dengan perbuatan baik kepada para kerabat dari laki-laki dan perempuan”. [3]
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَ لَّا تُشْرَكُوا بِهِ شَيْئًا وَ بِاْلوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَ لَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُم مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَ إِيَّاهُمْ وَ لَا تَقْرَبُوا اْلفَوَاحِشَ مَا ظَهِرَ مِنْهَا وَ مَا بَطَنَ وَ لَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِى حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكَمْ وَصَّاكَمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلَونَ
Katakanlah, “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atasmu oleh Rabb mu yaitu, janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan-Nya, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan kepada kamu supaya kalian memahami(nya).[QS al-An’am/6: 151].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Di dalam ayat pertama ini telah datang pengharaman akan 5 perkara yaitu, perbuatan syirik, mendurhakai kedua orang tua, membunuh anak-anak, melakukan perbuatan keji dan membunuh jiwa”. [4]
Katanya lagi, “((Berbuat baiklah terhadap kedua orang tua)) maka ini adalah merupakan perintah karena takdir (kalimat)nya adalah berbuat baiklah kalian kepada kedua orang tua. Perintah untuk melakukan sesuatu itu merupakan larangan dari kebalikannya. Maka perintah berbuat baik (kepada kedua orang tua) itu menetapkan pengharaman berbuat buruk dan berbuat buruk kepada kedua orang itu merupakan perbuatan durhaka kepada keduanya. Sedangkan durhaka kepada kedua orang tua itu diharamkan dan masuk dalam kandungan pengharaman yang telah disebutkan di dalam 3 ayat  ini”. [5]
وَ قَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ اْلكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَ لاَ تَنْهَرْهُمَا وَ قُل لَّهُمَا قَوْلًا كَـرِيمًا وَ اخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَ قُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَـمَا رَبَّيَانِى صَغِيرًا
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ahh” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuhrasa sayang dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku di waktu aku masih kecil”. [QS. Al-Isra’/ 17: 23-24].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat kewajiban beribadah kepada Allah ta’ala saja dan kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua yaitu bersikap baik kepada keduanya, mencegah bahaya dari keduanya dan mentaati keduanya dalam perbuatan ma’ruf. Terdapat kewajiban untuk mendoakan kebaikan untuk kedua orang tua dengan ampunan dan rahmat”. [6]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah ta’ala berfirman dalam keadaan menyuruh (manusia) agar beribadah kepada-Nya saja tiada sekutu bagi-Nya. Lalu Allah ta’ala juga menyuruh agar berbuat baik kepada kedua orang tua dengan ucapan dan perbuatan. Maka tidak boleh engkau memperdengarkan kepada keduanya dengan tingkatan ucapan buruk yang paling hina yaitu ucapah ‘ahh’. Tidak boleh pula engkau mengibaskan tanganmu kepada keduanya karena itu adalah tingkatan perbuatan jelek yang paling rendah. Sebagaimana Allah ta’ala telah melarang dari perkataan yang buruk dan perbuatan yang jelek maka Allah ta’ala juga telah menyuruh kepada perkataan yang elok dan perbuatan yang baik. Yaitu ucapan santun, lemah lembut lagi penuh persahabatan dengan penuh sopan, penghormatan, pemuliaan dan rendah hati. Dan ingatlah, engkau berbuat seperti itu sedangkan keduanya telah mendahuluimu dalam perbuatan tersebut. Keduanya bersikap lemah lembut kepadamu ketika engkau masih kecil, keduanya begadang di waktu malam karenamu, keduanya menahan rasa lapar hingga engkau merasa kenyang dan keduanya-pun menahan dahaga sehingga engkau telah hilang rasa haus”. [7]
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Semua ayat-ayat ini dan selainnya menunjukkan akan besarnya hak kedua orang tua. Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan tentang keadaan ibu. Bahwasanya ia telah mengandung anaknya dalam keadaan lemah lagi bertambah lemah. Yaitu dari sejak mengandungnya sampai ia melahirkannya sedangkan ia dalam keadaan lemah, sulit dan payah. Demikian pula ketika melahirkan, sebagaimana Allah ta’ala telah berfirman ((Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). QS al-Ahqaf/ 46: 15)). Semua penjelasan ini merupakan sebab akan hak ibu yang sangat besar.
Kemudian Allah ta’ala telah menyebutkan keadaan yang paling berat bagi kedua orang tua. Allah ta’ala berfirman ((Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ahh”. QS Luqman/ 31: 23)) karena kedua orang tua apabila telah mencapai usia lanjut maka jiwanyapun akan merasa lemah. Sehingga kedua-duanya akan menjadi beban bagi anaknya. Namun disamping itu Allah telah berfirman ‘janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ahh” yaitu janganlah kamu mengatakan ‘Sesungguhnya aku bosan kepada kalian berdua’. Tetapi pergaulilah keduanya dengan lemah lembut, perbuatan baik dan santun. Jangan membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya ucapan yang mulia. Yaitu sambutlah (ucapan) keduanya dengan sambutan yang baik lantaran kebesaran hak mereka berdua”. [8]
Berkata Nizham Sakkajaha, “Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Islam itu telah menjadikan untuk kedua orang tua, yaitu hak (dari anak-anak keduanya) untuk berbuat baik, bersikap lemah lembut, memperhatikan dan menyayangi keduanya. Dan menguatkan hak ini dengan menggandengnya dengan hak Allah (dari para hamba-Nya) untuk memuliakan-Nya dan menyempurnakan hak-Nya”. [9]
وَ وَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَ إِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِهِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُـنتُمْ تَعْمَلُونَ
            Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah engkau mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku akan kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [QS. Al-Ankabut/ 29: 8].
            Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Allah ta’ala berfirman dalam rangka memerintahkan para hamba-Nya agar berbuat baik kepada kedua orang tua setelah memotivasi mereka untuk berpegang teguh dengan mentauhidkan-Nya. Karena kedua orang tua itu adalah penyebab keberadaan manusia dan kepada keduanyalah ada tujuan berbuat baik. Maka ayahnya yang memberi nafkah sedangkan ibunya yang menuangkan rasa kasih sayang”. [10]
          Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Terdapat kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua dalam perbuatan ma’ruf dan tidak boleh mentaati keduanya dalam perbuatan munkar semisal perbuatan syirik dan berbagai kemaksiatan. Terdapat kabar gembira bagi orang-orang mukmin yang mengerjakan amal-amal shalih dengan dimasukkannya mereka ke dalam surga beserta para nabi dan golongan siddiqin”. [11]
وَ وَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَ وَضَعَتْهُ كُرْهًا وَ حَمْلُهُ وَ فِصَالُهُ ثَلَاتُوْنَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَ بَلَغَ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً قَالَ رِبِّ أَوْزِعْنِى أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِى أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَ عَلَى وَالِدَيَّ وَ أَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَ أَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِى إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَ إِنِّى مِنَ اْلمـُسْلِمِينَ أُولَئِكَ الَّذِينَ نَتَقَّبَلَ عَنْهُمْ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَ نَتَجَاوَزُ عَن سَيِّئَاتِهِمْ فِى أَصْحَابِ اْلجَنَّةِ وَعْدَ الصِّدْقِ الَّذِى كَانُوا يُوْعَدُونَ
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, “Wahai Rabbku, tunjukkilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridloi. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. Mereka Itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami akan ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka. [QS. Al-Ahqof/ 46: 15-16].
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Yaitu Kami telah memerintahkan manusia untuk berbuat baik kepada keduanya dan menaruh rasa kasih sayang kepada keduanya”. [12]
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Yaitu Kami perintahkan dengan perintah yang lebih tegas yakni wasiat untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya yaitu ibu dan ayahnya. Hal itu dengan cara mencegah bahaya dari keduanya, memberikan kebaikan untuk keduanya, mentaati keduanya dalam perkara ma’ruf dan juga berbuat baik kepada keduanya setelah keduanya wafat”. [13]
وَ إِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَ هُوَ يَغِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ وَ وَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أَمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَ فِصَالُهُ فِى عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْلِى وَ لِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ اْلمـَصِيْرُ وَ إِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَ صَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَ اتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُـنتُمْ تَعْمَلُونَ
 Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar”. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan sesuatu dengan-Ku yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu. Maka janganlah kamu mematuhi keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka akan Aku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [QS. Luqman/ 31: 13-15].
Berkata asy-Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iriy hafizhohullah, “Yaitu Kami telah memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya yaitu ibu dan ayahnya. Berbuat baik kepada keduanya itu dalam bentuk mendermakan perbuatan ma’ruf untuk keduanya, mencegah bahaya dari keduanya dan mentaati keduanya dalam perbuatan ma’ruf”. [14]
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Allah Subhanahu mengkhabarkan bahwasanya Ia telah mewasiatkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Karena ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah tatkala melahirkan den lemah ketika mendidik dan menyusui setelah dua tahun melahirkannya. Tujuan Allah Azza wa Jalla mengingatkan akan pengajaran sang ibu, keletihan dan kesulitannya lantaran begadang di waktu malam dan siang hari hanyalah agar sang anak menjadi ingat untuk berbuat baik kepada keduanya. Maka balasan untuk kedua orang tua adalah berbuat baik (kepada keduanya) karena balasan berbuat baik itu adalah kebaikan pula (yakni surga)”. [15]
                Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Maka ibu merasa letih pada saat mengandung, melahirkan, setelah melahirkan dan menyayangi anaknya melebihi rasa sayang ayahnya kepadanya. Oleh karena itu, ibu adalah orang yang paling berhak untuk dipersahabati dan diperlakukan dengan baik, sehingga lebih dari pada sang ayah. Sebagaimana di dalam sebuah hadits, dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, ‘Seseorang pernah datang menemui Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan bertanya, “Wahai Rosulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk dipersahabati/ dipergauli dengan baik?”. Beliau menjawab, “Ibumu”. Ia bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?”. Beliau menjawab, “Ibumu”. Lalu ia bertanya kembali, “Kemudian siapa lagi?”. Beliau menjawab, “Ibumu”. Orang itu bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?”. Beliau menjawab, “Ayahmu”. [HR al-Bukhoriy: 5971 dan Muslim: 2548]. [16]
            Ayah juga merasakan keletihan dalam (merawat) anak-anaknya, merasakan kecemasan seperti kecemasan mereka, berbahagia sebagaimana kebahagiaan mereka dan berusaha dengan berbagai sebab yang dapat membuat kelapangan, ketentraman dan kebaikan hidup mereka. Ia melintasi padang pasir dan tanah tandus dalam rangka memperoleh penghidupan untuknya dan anak-anaknya”. [17]


Bentuk Kebaktian kepada orang tua dikala hidup dan matinya

Kewajiban anak kepada orang tua pada masa hidupnya dan setelah matinya
Saudaraku, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa berbakti kepada orang tua adalah amalan yang paling utama dan paling dicintai oleh Allah Ta'ala setelah kita beribadah kepada-Nya. Berbakti kepada orang tua merupakan sebab kita mendapat­kan keridhaan Allah Ta'ala, mendapatkan surga-Nya dan merupakan sifat dan amalan mulia para Nabi. Dari sini jelas bahwa orang tua memiliki hak agung yang wajib dipenuhi oleh sang anak sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah dan balas budi kepada keduanya. Berbakti kepada orang tua tidak hanya sebatas pada saat keduanya masih hidup, melainkan harus terus dilakukan setelah keduanya meninggal.
Berbakti kepada orang tua Pada masa hidupnya
Pertama: Mempergauli Keduanya dengan Baik di Dunia
Orang tua adalah manusia yang paling berhak mendapatkan pergaulan dengan baik. Hal itu tidak hanya terbatas kepada orang tua yang baik dan taat saja, orang tua yang kafirpun –wal ‘iyadzu billah– juga berhak mendapat­kan pergaulan yang baik, karena kekufurannya tersebut kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan ketaat­­an seorang anak kepada orang tuanya merupakan kewajiban tersendiri. Allah  berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya selama dua tahun, bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah tempat kembalimu dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”   QS. Luqman [31]: 14-15
Dan dalam hadits yang shahih diriwayatkan:
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ j فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِيْ الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ. قَالَ « فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ ». قَالَ نَعَمْ بَلْ كِلاَهُمَا. قَالَ « فَتَبْتَغِيْ الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا »
Dan Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyalllahu'anhu berkata: ”Telah datang seseorang kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dan mengatakan, “Aku akan membaiatmu untuk hijrah dan jihad dalam rangka mengharapkan pahala dari Allah”, maka Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bertanya kepadanya: “Apakah salah satu dari orang tuamu ada yang masih hidup?” Orang tersebut menjawab, ”Ya masih hidup, bahkan keduanya masih hidup”. Rasulullah kemudian bertanya, “Apakah kamu menginginkan pahala dari Allah?”, maka laki-laki tadi menjawab, ”Ya, aku mengharap­kan pahala”. Lalu Rasulullah berkata kepadanya, “kalau demikian maka pulanglah kepada kedua orang tuamu dan pergaulilah mereka dengan sebaik-baiknya.” (HR. Muslim: 2549)
Perhatikanlah ayat di atas, begitu tinggi kemuliaan orang tua, sampai-sampai orang tua yang kafirpun tetap diperintahkan agar mempergaulinya dengan baik dan mentaatinya selama tidak memerintahkan kemaksiatan, apabila kita diperintah untuk berbuat maksiat, maka pada saat itu kita tidak boleh mentaatinya. Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki agar berbakti kepada orang tua, padahal ketika itu ia hendak pergi dalam rangka berjihad di jalan Allah.
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa jihad meskipun memiliki kedudukan  yang tinggi dan merupa­kan
 dzirwatu sanamil Islam(puncaknya Islam), akan tetapi berbakti kepada orang tua harus kita dahulukan apabila jihad tersebut hukumnya bukan fardhu ‘ain.
Kedua: Mendakwahi Keduanya
Dengan selalu mendoakan kedua­nya serta antusias dalam menasehati, mengerahkan segala daya dan upaya agar Allah  memberikan hidayah Islam kepada keduanya apabila keduanya masih kafir, dan memberikan hidayah kepada manhaj yang benar.
Inilah jalan yang telah ditempuh oleh para Nabi dan generasi awal umat ini, mereka bersemangat dan sangat berharap agar orang tua mereka mendapatkan hidayah dan merasakan manisnya iman sebagaimana yang telah mereka rasakan. Mereka mengerahkan segala daya dan upaya untuk mencapai harapan dan tujuan yang mulia tersebut.
Begitu banyak kisah yang dapat kita jadikan teladan di dalam masalah ini. Oleh karenanya, untuk melengkapi pembahasan kita kali ini, kami suguhkan kepada para pembaca yang budiman dua contoh kisah yang mudah-mudah­an kita bisa menuai pelajaran darinya.
Kisah pertama, adalah Khalilu ar-Rahman Nabi Ibrahim 'alaihis salaam, beliau sangat antusias menunjukkan ayahnya, Azar yang kafir dan berusaha mendakwahinya dengan baik, dengan beraneka ragam cara, disertai hujjah-hujjah naqli (dalil syar’i) maupun aqli (logika), dengantarhib (peringatan) dan targhib (janji dan kabar gembira).
Allah Ta'ala telah memberitakan kepada kita tentang hal tersebut, di antaranya adalah dalam firman-Nya:
 وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا (41) إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا (42) يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا (43) يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا (44) يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا (45) قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا (46) قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا (47)
“Ceritakanlah (wahai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (al-Qur`an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan (perkara ghaib yang datang dari Allah) lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan juga tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu penge­tahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutil­ah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Tuhan yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan. Ayahnya berkata, “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam. Ibrahim berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama.”    QS. Maryam [19]: 41-47
Dan jika sang anak sudah berusaha secara maksimal untuk mengajak orang tuanya ke jalan yang benar, akan tetapi orang tuanya tidak mengindahkan dakwahnya justru malah menentang­nya, maka sang anak tidak tergolong durhaka kepada orang tua, selama cara dan jalan yang ditempuh tersebut benar, bahkan ia tergolong anak yang cinta kepada orang tuanya, karena mengharapkan orang tuanya mendapatkan nikmat paling agung yaitu hidayah. Oleh karena itu, hendaknya sang anak tidak putus asa dan berhenti dalam mendakwahi orang tuanya.
Kisah kedua, adalah sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu'anhu dimana ibunya yang dahulu masih dalam kekafiran senantiasa menyakiti serta mengganggu Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dengan lisannya, walaupun demikian Abu Hurairah radhiyallahu'anhu tetap mempergaulinya dengan baik dan beliau sangat semangat mendakwahinya agar mendapat­kan hidayah.
Marilah sejenak kita menyi­mak apa yang telah dilakukan oleh Abu Hurairah rahiyallahu'anhu, dan bagaimanakah perjuangan beliau. Beliau menceritakan, ”Aku dahulu men­dakwahi ibuku kepada Islam karena waktu itu dia masih dalam keadaan musyrik. Pada suatu hari aku mendakwahinya, ternyata kudengar darinya pembicaraan yang kurang baik tentang Rasulullah, maka aku mendatangi Rasulullah dalam keadaan menangis dan aku katakan kepada Beliau, wahai Rasulullah, aku telah mendakwahi ibuku agar masuk Islam tapi  ia enggan, bahkan berbicara tentangmu apa yang tidak aku suka, oleh karena itu doakanlah agar Allah memberi petunjuk kepada ibuku”. Kemudian Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah berikanlah petunjuk kepada ibu Abu Hurairah”. Setelah mendengar doa tersebut aku pun keluar menuju rumahku dengan penuh kegembiraan, tatkala sampai rumah ternyata pintu tertutup. Tatkala aku sampai rumah dan ibuku mendengar suara sandalku, beliau mengatakan, “berhentilah di tempatmu, wahai Abu Hurairah”. Pada saat itu aku mendengar suara air, beliau mandi, mengenakan pakaiannya lalu membukakan pintu untukku seraya mengucapkan “Wahai Abu Hurairah, Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh”.
Setelah mendengar perkataan ibunya tersebut, Abu Hurairah radhiyallahu'anhu berkata, “Maka aku segera kembali menemui Rasulullah dalam keadaan menangis karena kebahagiaan yang aku rasakan lalu kukatakan kepada Rasulullah, “Kabar gembira wahai Rasulullah, Allah telah mengabulkan doamu dan Allah telah memberi petunjuk kepada ibuku”, maka Rasulullah pun memuji Allah dan menyanjungNya sera­­ya mengucapkan kebaikan.” (HR. Muslim: 2491)
Lihatlah Sahabat yang mulia ini, bagaimana usaha beliau yang begitu gigih dan tak kenal lelah dalam mendakwahi ibunya. Beliau menempuh berba­gai cara untuk mencapai tujuan mulianya, dari mulai bersikap, berakhlak, dan berbicara dengan baik, melalui pendekatan yang baik, sampai pada akhirnya ketika pintu dakwah seakan tertutup setelah mendengar ucapan yang tidak baik dari ibunya tentang Nabi termulia, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, beliaupun tidak lantas berputus asa, justru beliau mencari cara lain dengan mendatangi Rasulullah agar diketukkan pintu langit, berdoa kepada Allah Ta'ala karena Dialah tempat kembali, tempat memohon dan penentu keputusan, ditambah lagi dengan keyakinan Abu Hurairah yang mantap bahwa doa Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam apabila beliau mendoakan kebaikan kepada suatu kaum atau mendoakan kejelekan, akan dikabulkan. Sehingga cara inipun ditempuh oleh Abu Hurairah radhiyallahu'alaihi wa sallam, yang pada akhirnya pengharapan beliau terwujud yaitu ibunya tercinta masuk ke dalam agama Islam.
Inilah di antara contoh prak­tik orang-orang mulia dalam me­wujud­kan birrul walidain, maka hendaknya kita bisa meneladani mereka. Allah Ta'ala berfirman:
 أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.”            QS. al-An’am [6]: 90
Seorang penyair pun telah ber­­­­senandung dalam syairnya,
فتَشَبَّهُوْا بِاْلكِرَامِ وَ إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ
 إِنَّ التَّشَبُّهَ بِاْلكِرَامِ فَلَاحُ
Menirulah orang-orang mulia walaupun engkau tidak bisa seperti mereka,
Sesungguhnya meniru orang-orang mulia adalah sebuah keberuntungan.
Ketiga: Rendah hati di hadapan kedua orang tua, tidak mengangkat suara di hadapan keduanya walaupun sekedar ucapan uf atau ah
Allah  berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24
“Dan Tuhanmu telah memerintah­kan supaya kamu tidak menyembah selain ­Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu aku masih kecil.”     QS. al-Isra` [17]: 23-24
Dan inilah Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, beliau apabila masuk ke suatu tempat yang orang tuanya tinggal di dalamnya, maka beliau mengucapkan kepada ibunya, “‘Alaikissalamu warahmatullahi wabarakatuh, wahai ibuku”. Ibunya pun menjawab: “Wa’alaikassalam warahmatullahi wabarakatuh.” Abu Hurairah mengatakan: “mudah-mudahan Allah merahmatimu, sebagaimana engkau telah mendidikku sewaktu aku masih kecil,” dan ibunya pun menjawab, “wahai anakku mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu serta meridhaimu karena engkau telah berbakti kepadaku di masa tuaku.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad: 14 dengan sanad yang hasan)
Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana bakti sahabat Abu Hurairah ini dan bagaimana beliau mengungkapkan rasa syukurnya serta menunjukkan penghormatannya kepada ibunya? Di sisi lain, engkau juga akan mendapati betapa sang ibu merasakan bakti anaknya sehingga dia sangat menyayangi sang anak. Allahu akbar! Inilah hakikat kebahagiaan yang sesungguhnya, yaitu tatkala sang anak dan orang tua merasakan kebaikan, maka orang tua akan mendapatkan haknya, begitu pula anaknya juga akan mendapatkan haknya.
Berbakti kepada orang tua setelah meninggalnya
Ketika orang tua telah meninggal dunia, maka tidak ada yang diharapkan dari yang hidup kecuali apa-apa yang bisa memberikan manfaat kepada akhirat­nya, berupa pahala dan yang dapat menyelamatkannya dari siksa.
Di antara yang dapat memberikan manfaat kepada orang tua setelah meninggalnya yang dapat dilakukan oleh sang anak dalam mewujudkan baktinya, adalah:
1. Amalan shalih yang dilakukan anaknya
Seorang anak hendaknya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ketaatannya kepada Allah, karena setiap amal shalih yang dikerjakan sang anak pahalanya akan sampai kepada kedua orang tua yang beriman walaupun ia tidak mengatakan, “amal ini aku hadi­ahkan untuk ibu atau ayahku”, ataupun ucapan yang semisal, karena anak meru­pakan bagian dari usaha orang tuanya, dan hal itu sama sekali tidak mengurangi pahala sang anak. Sebagaimana yang Allah  firmankan:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”           QS. an-Najm [53]: 39
Dan anak merupakan bagian dari usaha orang tuanya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam:
إنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ وَإنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ
)HR. at-Tirmidzi: 1358, Ibnu Majah: 2290 dan Ahmad: 6/162 (lihat Shahih Ibnu Majah: 1854)) “Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian makan adalah dari usaha kalian, dan sesungguhnya anak-anak kalian adalah termasuk bagian dari usaha kalian.”
Dan apabila seorang anak menjalankan ketaatan, seperti shalat, puasa, dan amalan ketaatan lainnya, maka tidak perlu sembari mengatakan, “aku berikan pahala ibadah ini untuk kedua orang tuaku”, karena pahala ibadah tersebut akan sampai kepada orang tua, justru pengucapan tersebut tidak ada dasarnya dari Hadits Nabi shallallahu'alaihi wa sallam maupun praktik para Sahabat.
2. Doa anak yang shalih kepada kedua orang tua dan memintakan ampunan atas dosa-dosanya
Allah  berfirman:
 رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihi­lah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil.”                 QS. al-Isra` [17]: 24
 Dan Rasulullah shallallahu'alaihi was sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
(HR. Muslim: 1631) ”Apabila manusia meninggal dunia, maka terputus amalannya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakannya.”
3. Termasuk berbuat baik kepada orang tua setelah meninggalnya adalah dengan cara memuliakan teman-temannya, sanak kerabat dan saudara-saudaranya
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيْهِ
”Kebaikan yang terbaik adalah jika seseorang menyambung orang yang disenangi bapaknya.”(HR. Muslim: 2552) Dalam hadits yang lain dari Abu Burdah  radhiyallahu'anhu, beliau mengatakan: “Aku datang ke kota Madinah lalu datanglah kepadaku Abdullah Ibnu ‘Umar seraya berkata: ”Taukah kamu kenapa aku datang kepadamu?”, maka aku menjawab: “Aku tidak tahu.” Maka beliau Ibnu ‘Umar mengatakan: “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu'alahi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصِلَ أَبَاهُ فِيْ قَبْرِهِ فَلْيَصِلْ إِخْوَانَ أَبِيْهِ بَعْدَهُ
(HR. Ibnu Hibban: 2/175, termaktub dalam Shahih al-Jami’: 5960) ”Barangsiapa ingin menyambung orang tuanya setelah meninggalnya, hendaklah ia menyambung teman-teman (saudara) orang tuanya setelahnya dan sesungguhnya antara ayahku (Umar) dan ayahmu memiliki tali persahabatan dan saling mencintai, maka aku ingin menyambung hal itu (setelah matinya, pent).”
Sungguh para Sahabat sangat memahami hal tersebut dan mereka sangat memperhatikannya. Sebagai penguat hadits dan contoh di atas adalah apa yang dilakukan oleh Sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu'anhuma juga, bahwasanya beliau memiliki seekor keledai yang biasa beliau tunggangi dan imamah yang biasa untuk mengikat kepalanya. Tatkala beliau berada di atas keledai­nya, tiba-tiba lewatlah seorang Arab badui, beliau­pun berkata kepada­nya, “bukankah anda fulan anaknya fulan?” Maka si badui pun berkata: “benar”, kemudian beliau memberikan keledai­nya kepada badui tersebut sambil mengatakan: “naikilah keledai ini dan pakailah imamah ini untuk mengikat kepalamu”. Mendengar hal tersebut, berkatalah sebagian sahabatnya, “Mudah-mudahan Allah mengampuni dosamu, kamu memberikan keledai yang senantiasa kamu tunggangi dan imamah yang senantiasa kamu pakai untuk mengikat kepalamu”, maka Abdullah Ibnu ‘Umar radhiyallahu'anhuma mengatakan, “aku mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيْهِ
(HR. Muslim: 2552) ”Termasuk kebaikan yang paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan keluarga orang yang dicintai orang tuanya setelah meninggalnya”.
Dan dahulu bapak orang badui tersebut adalah teman baik ‘Umar.
4. Termasuk berbakti kepada orang tua setelah meninggalnya adalah dengan bersedekah berupa ilmu, membangun masjid, menggali sumur, memberi mushaf, dll dari amal jariyah yang akan sampai pahalanya kepada orang tuanya
‘Aisyah radhiyallahu'anha meriwayatkan, bahwasanya seseorang pernah berkata kepada Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya ibuku meninggal secara tiba-tiba dan tidak sempat berwasiat, dan aku mengira jika dia bisa berbicara maka dia akan bersedekah, apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya dan apakah aku juga akan mendapatkan pahala?”, maka Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, “Ya”. Kemudian orang tadi mengatakan, “Aku bersaksi bahwa kebun yang berbuah ini aku sedekahkan atas namanya.”(HR. al-Bukhari: 2605 dan Muslim: 1004)
Dan dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, bahwa ada seseorang yang mengatakan kepada Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang tuaku meninggal dan telah meninggalkan harta dan tidak mewasiatkan apa-apa, apabila aku bersedekah dengan meniatkan untuk orang tuaku, apakah hal itu akan menghapus dosanya?,” Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menjawab, “Ya”. (HR. al-Bukhari: 2605)
Tentang hadits shahih ini, kita tetapkan apa adanya, akan tetapi walaupun sang anak tidak meniatkan pahala untuk orang tuanya pun secara langsung pahala tersebut akan sampai, karena anak merupakan bagian dari usaha orang tua, sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.
5. Menunaikan wasiatnya jika tidak melanggar syar’i, membayarkan hutangnya baik harta maupun puasa nadzar
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ، صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
(HR. Bukhari, Muslim, dll) “Barangsiapa yang meninggal dan masih menanggung hutang puasa, maka walinya yang menunaikannya.”
Nasehat dan kabar gembira BAGI orang-orang yang berbakti kepada orang tua
Wahai para anak berbaktilah engkau kepada orang tua kalian, sesungguhnya doa mereka sangat mustajab (terkabulkan), sebagaimana Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لَا تُرَدُّ: دَعْوَةُ اْلَوَالِدِ لِوَلَدِهِ وَ دَعْوَةُ الصَّائِمِ وَ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
(HR. Ibnu Majah: 3862, dan tercantum dalam Shahih al-Jami’: 3033) “Ada tiga doa yang tidak diragukan lagi akan pengabulannya, yaitu doanya orang terdhalimi, doanya orang musafir, dan doanya orang tua kepada anaknya.”
Maka kabar gembira untukmu wahai anak yang berbakti lagi berbuat baik kepada orang tuanya, apabila setiap hari engkau keluar rumah, sedangkan ayah dan ibumu mendoakan kebaikan kepadamu. Dan sebalik­nya, kabar kehinaan bagimu manakala engkau keluar rumah, sedangkan kedua orang tua mendoakanmu dengan kejelekan dan laknat.
Kabar gembira bagi orang tua yang memiliki anak YANG shAlih
1. Amalannya akan terus bertambah dan mengalir sampai hari kiamat,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam :
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
2. Akan dinaikkan derajatnya di surga, disebabkan sang anak memintakan ampunan kepada Allah Ta'ala untuknya,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam:
إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ أَنَّى هَذَا ؟ فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
(HR. Ibnu Majah: 3638 dll, lihat Shahih al-Jami’:1618) “Sungguh seseorang akan diangkat der ajat­nya di surga, dia mengatakan: dari mana ini? Kemudin dikata­kan kepada­nya, ini adalah disebabkan istighfar anakmu yang shalih.”
3. Akan berkumpul di akhirat bersama anak cucu yang beriman, sebagaimana firman Allah :
 وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka (ditinggikan derajatnya sebagaai derajat bapak-bapak mereka dan dikumpulkan dengan bapak-bapak mereka dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit­pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakan­nya.”      QS. ath-Thuur [52]:21
Mudah-mudahan Allah Ta'ala menjaga kita dan kedua orang tua kita dari segala malapetaka dunia dan akhirat serta menjadikan kita termasuk orang yang berbakti kepada kedua orang tua dan yang memberikan haknya di masa hidupnya dan juga setelah meninggalnya.Amiin ya Rabbal ‘alamiin.